Puluhan Siswa Sekolah Rakyat Kotim Belum Kuasai Calistung, Tambah Jam Belajar Diberlakukan

Ilustrasi siswa sekolah (pexels)

kontenkalteng.com,Palangka Raya-Sekolah Rakyat Kotawaringin Timur (Kotim) kembali menghadapi tantangan berat di awal tahun ajaran. Dari sekitar seratus siswa yang kini menempuh pendidikan di sekolah gratis berasrama itu, sebagian besar masih berjuang menguasai kemampuan dasar membaca, menulis, dan berhitung (calistung).

Baca juga: Ini Siasat Pelajar di Palangka Raya Agar Aman Saat Bolos Sekolah

Kepala Sekolah Rakyat Kotim, Nikkon Bhastari, menyebut ada 30 siswa tingkat sekolah dasar (SD) dan tiga siswa sekolah menengah atas (SMA) yang belum sepenuhnya menguasai kemampuan tersebut. Temuan itu didapat selama masa matrikulasi atau pengenalan pelajaran yang tengah berlangsung.

“Ini jadi perhatian besar bagi kami. Karena itu, sekolah menyiapkan tambahan waktu belajar khusus di luar jam pelajaran reguler,” kata Nikkon, Rabu (22/10).

Menurutnya, pembelajaran tambahan dilakukan melalui pendekatan personal yang melibatkan wali asrama. Para siswa dibimbing secara intensif pada malam hari agar mampu mengejar ketertinggalan tanpa tekanan.

“Kami tidak ingin mereka minder atau merasa berbeda. Semua anak berhak belajar sesuai kemampuannya dan berproses dengan tenang,” ujarnya.

Sekolah Rakyat Kotim menggunakan kurikulum nasional plus dengan pendekatan multi entry multi exit. Melalui sistem ini, siswa yang cepat memahami pelajaran dapat langsung melangkah ke tahap berikutnya, sedangkan yang masih tertinggal akan diberi waktu dan pendampingan lebih lama.

Selain fokus memperkuat kemampuan akademik, sekolah juga menekankan pendidikan karakter. Nikkon menilai pembentukan sikap dan perilaku menjadi fondasi penting sebelum siswa memasuki pembelajaran umum.

“Kalau karakter sudah terbentuk, semangat belajar dan rasa tanggung jawab terhadap diri sendiri juga akan tumbuh,” ujarnya menegaskan.

Dengan jumlah siswa yang kini mencapai 100 orang, Sekolah Rakyat Kotim bertekad terus menjadi ruang belajar inklusif bagi anak-anak dari berbagai latar belakang, termasuk mereka yang belum pernah mencicipi bangku sekolah.

“Yang kami lihat bukan seberapa pintar mereka saat datang, tapi seberapa besar keinginan mereka untuk belajar. Dari situlah harapan itu tumbuh,” tutupnya (DV-OR1)