Bupati Kotim Halikinnor (ke-4 dari kanan) saat bertemu pengurus GPPI Kotim, Selasa (11/6/2026) FOTO; IST
kontenkalteng.com, Sampit- Bupati Kotawaringin Timur (Kotim), Kalimantan Tengah (Kalteng) Halikinnor menemui Gabungan Pengusaha Perkebunan Indonesia (GPPI) Kotim dalam upaya mencegah terjadinya konflik antara masyarakat dan perusahaan besar swasta (PBS) diperkebunan kelapa sawit.
Baca juga: Bupati Kotim Pastikan Evaluasi Perusahaan Sawit
"Hari ini kami melakukan pertemuan dengan owner perkebunan yang ada di Kotim. Kita membahas bagaimana penyelesaian permasalahan yang kerap kali terjadi di perkebunan, " katanya, Selasa 11 Juni 2024.
Tercatat ada 53 lebih PBS di Kotim, sebagian besarnya dibidang perkebunan kelapa sawit. Kabupaten Kotim menjadi kabupaten yang memiliki perkebunan sawit terluas di Indonesia.
Disampaikan, tidak jarang permasalahan di perkebunan muncul antara pihak perkebunan dengan masyarakat setempat seperti aksi penjarahan, pemortalan dan klaim lahan di perkebunan PBS sehingga sengakibatkan bentrok fisik aparat dan masyarakat serta aksi demo di PBS.
"Disini Pemkab Kotim ingin agar ke depannya permasalahan itu dapat diminimalisir. Terkait ini agar penyelesaian di tingkat desa dan kecamatan lebih di komprehensifkan dengan melibatkan OPD teknis, " ucapnya.
Ditegaskan, dalam hal ini juga ia meminta agar OPD terkait tidak mengedepankan aspek legal formal semata namun mencermati historis kepemilikan lahan dan usaha ekonomi masyarakat desa sekitar PBS.
Selain itu menurutnya, guna mengurangi aksi demo dan pencurian kelapa sawit di PBS, perlu dijajaki oleh desa dan kecamatan program usaha masyarakat di desa sebagai mata pencaharian yang potensial.
"Perusahaan juga harus aktif terutama CSR (Corporate Social Responsibility). Melalui program CSR ini usaha masyarakat desa digerakan. Dengan adanya usaha dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat sehingga aksi encurian buah kelapa sawit dapat diminimalisir," ungkapnya.
Sementara ditambahakan, terkait aksi masyarakat melakukan penjarahan di PBS dan tuntutan plasma 20%, setelah dicermati, itu akibat pembelian plasma oleh orang di luar desa atau kabupaten, sehingga hasil panen plasma lebih dinikmati pembeli yang notabane bukan penduduk setempat.
"Sementara pada awal pendirian koperasi masyarakat setempat yang terdaftar sebagai anggota koperasi, namun setelah panen justru orang lain yang menikmati, " ujarnya.
Oleh karena itu ia mengegaskan, setelah replanting kebun plasma agar anggota koperasi dikembalikan ke pemilik asal yang memang terdaftar sebagai anggota koperasi di awal pendirian koperasi.
"Mereka dilarang memperjualbelikan plasma PBS khusus untuk koperasi–koperasi yang baru berdiri dan anggota yang diusulkan dalam Surat Keputusan Calon Petani Calon Lahan (CPCL) agar betul-betul memperhatikan masyarakat setempat yang berdomisili di sekitar PBS. Saya berharap dengan keputusan ini bisa membuat investasi di wilayah kita lebih baik lagi, " harapnya. (DY-OR1)